Tahlil adalah istilah / berasadari bahasa arab, yang mempunyai makna kurang lebihnya Membaca kalimat Laa Ilaha Illalloh ( artinya : tiada Tuhan selain ALLah Swt. ) namun Tahlil yang kami maksud dalam tulisan ini adalah bacaal n-bacaan kalimat thoyibah yang dibaca secara berjama'ah pada hari pertama kematian seseorang sampai hari ketujuh, 40 harinya, 100 harinya dan bahkan 1000 harinya.
Para ulama (Wali Songo) dalam menanggulangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam dikala awal perkembangan Islam di Negeri ini khususnya di tanah jawa, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua ) aliran yaitu : Aliran Giri dan Aliran Tuban.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari'at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang "radikal". aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari'at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.
Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.
Rupanya upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian terus berkembang dan sangat melekat, merakyat dengan budaya lingkungan sekitar ( tanah jawa ) walaupun sudah mengaku Islam tapi masih melakukan upacara-upacara kematian yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad , Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan / amalan umat Islam dengan bercampur budaya Tradisional yang bersumber dari ajaran Hindu – Budha kala itu.
K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada umat Islam pada saat itu, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi, kemunculan beliau tersebut disambut pro kontra ada ulama yang sepaham dengan beliau, tetapi ada pula ulama yang setuju / membiarkan budaya-budaya yang telah ada terus berkembang, namun harus diwarnai dengan warna keislaman, seperti para wali dengan aliran Tuban.
Tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang disingkat NU. Masyarakat tokoh ulama yang tergabung dalam organisasi ini, menghargai budaya masyarakat yang berkembang saat itu dengan catatan harus diwarnai dengan warna keislaman, ulama-ulama ini tidak mengharamkan kebiasaan masayakat untuk upacara kematian, 7 harinya, 40 harinya, 100 harinya, seribu harinya dan bahkan ada acara khoul yaitu tiap tahunan untuk mengenang jasa para tokoh atau Ulama’ sudah tentu harus diisi dengan nilai-nilai keislaman, begitulah yang seterusnya dan berakhir dengan istilah TAHLILAN yang kita kenal sekarang.
Sesuai dengan sejarahnya tahlilan dan perkembangannya dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Kalau toh ada hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.
Dengan memperhatikan sejarah dan pendapat ulama yang pro dan kontra dengan upacara kematian ini, saya mengambil kesimpulan :
1. Amalan Tahilan memang bukan ajaran utama / mutlak dalam Islam, budaya ini hasil dari budaya agama lain yang telah diserap masyarakat jawa dengan ditanamkan amalan amalan / bacaan bacaan yang islami.
2. Hal tersebut disampaikan ke masyarakat hingga masyarat tahu tentang sebenarnya, tidak hanya itu boleh dan tidak boleh.
3. Yang perlu di sampaikan ke masyarakat masalah perjamuannya, tidak boleh berhutang kalau tidak mampu, tidak boleh menggunakan harta yang ditinggalkan oleh di Jenazah / yang wafat dihatirkan terdapat harta si yatim ( anak yang ditinggal oleh simayit )
4. Kalau toh masyarakat / anak / keluarga di mayit mengadakan upacara Tahlilan, seyogyanya menggunakan hartanya sendiri dan dalam kondisi mampu ( tidak hutang )
5. Upacara-upacara sejenis, ada Tahlilan, ada Istighosahan, ada Kautsaran dan banyak lagi yang lainnya, menurut saya itu banyak manfaatnya bagi masyarakat luas, yaitu setidaknya melatih banyak orang untuk melafalkan kalimat-lkalimat thoiyibah.
6. Yang terakhir kepada teman-teman seiman mari terus meningkatkan keilmuan kita terhadap islam, sehingga kita tidak mudah dikhasut orang dan setiap ibadah kita selalu memahami tentang keilmuannya.
7. sekian trims